Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada
buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya
karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa
menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa
bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya
terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an
dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka
sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR.
Ahmad) Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits
layak disebut ahli hadits ? Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini:
“Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja
tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa
berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah
mengarah pada distorsi. Para ulama tidak
menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama
menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif
(lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat
tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu
dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para
ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan
kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam
ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10) Ilmu agama adalah ilmu yang diwariskan dari ulama-
ulama terdahulu yang tersambung kepada lisannya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang
artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan
ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il
dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta
atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati
tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari) Hadits tersebut bukanlah menyuruh kita menyampaikan
apa yang kita baca dan pahami sendiri dari kitab atau
buku

Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh
menyampaikan satu ayat yang diperoleh dan didengar
dari para ulama yang sholeh dan disampaikan secara
turun temurun yang bersumber dari lisannya Sayyidina
Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karenanya ulama dikatakan sebagai pewaris Nabi. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ulama
adalah pewaris para nabi” (HR At-Tirmidzi). Ulama pewaris Nabi artinya menerima dari ulama-ulama
yang sholeh sebelumnya yang tersambung kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Pada hakikatnya Al Qur’an dan Hadits disampaikan
tidak dalam bentuk tulisan namun disampaikan melalui
lisan ke lisan para ulama yang sholeh dengan imla atau
secara hafalan. Dalam khazanah Islam, metode hafalan merupakan
bagian integral dalam proses menuntut ilmu. Ia sudah
dikenal dan dipraktekkan sejak zaman baginda
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Setiap menerima
wahyu, beliau langsung menyampaikan dan
memerintahkan para sahabat untuk menghafalkannya. Sebelum memerintahkan untuk dihafal, terlebih dahulu
beliau menafsirkan dan menjelaskan kandungan dari
setiap ayat yang baru diwahyukan. Jika kita telusuri lebih jauh, perintah baginda Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam untuk menghafalkan Al-
Qur’an bukan hanya karena kemuliaan, keagungan
dan kedalaman kandungannya, tapi juga untuk
menjaga otentisitas Al-Qur’an itu sendiri. Makanya
hingga kini, walaupun sudah berusia sekitar 1400 tahun lebih, Al-Qur’an tetap terjaga orisinalitasnya. Kaitan
antara hafalan dan otentisitas Al-Qur’an ini tampak
dari kenyataan bahwa pada prinsipnya, Al-Qur’an
bukanlah “tulisan” (rasm), tetapi
“bacaan” (qira’ah). Artinya, ia adalah ucapan dan
sebutan. Proses turun-(pewahyuan)-nya maupun penyampaian,
pengajaran dan periwayatan-(transmisi)-nya, semuanya
dilakukan secara lisan dan hafalan, bukan tulisan. Karena
itu, dari dahulu yang dimaksud dengan “membaca”
Al-Qur’an adalah membaca dari ingatan (qara’a ‘an
zhahri qalbin). Dengan demikian, sumber semua tulisan itu sendiri
adalah hafalan, atau apa yang sebelumnya telah tertera
dalam ingatan sang qari’. Sedangkan fungsi tulisan
atau bentuk kitab sebagai penunjang semata. Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas
(QS Asy Syu’ara’ [26]: 195) namun pemahamannya
haruslah dilakukan oleh orang-orang yang
berkompeten (ahlinya). Allah ta’ala berfirman yang artinya “Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan
dalam bahasa Arab, untuk kaum yang
mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3) “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-
Nahl : 43]